Kamis, 10 Oktober 2013

SEBATAS DELUSI

            Pada saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar, aku kedatangan tetangga baru yang datang dari ibu kota. Terlihat mereka adalah keluarga yang mapan, datang ke kotaku untuk keperluan pekerjaan. Mereka bilang akan tinggal di sebelah rumahku hingga 2 tahun ke depan. Ya, kala itu aku tak peduli siapa mereka hingga akhirnya mereka memperkenalkan putrinya kepadaku.


Viny, gadis kecil yang biasa saja dan terlihat agak jutek namun sangat pemalu. Kedua orang tuanya menginginkan ia bersekolah di sekolah yang sama denganku. Mungkin dengan begitu Viny dapat lebih mudah bersosialisasi di lingkungan rumah sekaligus sekolah. Dan secara otomatis akupun mulai mendapat pekerjaan baru sebagai “teman” si gadis ini. Aku harus repot-repot mengajaknya bermain bersama, berangkat sekolah bersama, belajar bersama, dan melakukan hal-hal membosankan bersama. Ini bagai neraka untukku, kenapa aku harus kemana-mana bersama gadis ini? Hingga sebulan berlalu pun kami masih bersama-sama. Bodohnya, dia belum mendapat teman akrab yang lain selain aku. Dan ini mulai membuatku gila, tidak bisa selamanya aku dibuntuti gadis ini! Teman-teman di sekolah pun mulai mengejek kami sebagai sepasang kekasih. Oh, ini semakin menyebalkan.

Akhirnya kelulusan SD tiba, ini artinya masa-masa sekolah dasarku berama gadis itu juga berakhir, dan akhirnya aku dan Viny memutuskan mengambil SMP yang berbeda.  Meski demikian, komunikasi tetap terjalin diantara kami berdua karena pada dasarnya kami memang sudah cukup dekat. Karna rumah kamipun juga cuma bersebelahan. Nah, di masa-masa ini aku mulai jarang bertemu dengannya. Dia mulai memiliki banyak teman di sekolah barunya. Dan tak jarang pula aku melihat teman-teman SMP-nya mengunjungi rumahnya. Sebagai teman dan tetangga yang baik, terkadang aku juga menyempatkan mengunjunginya. Meski sekedar menanyakan kabar dan bercerita-cerita sejenak . Namun itu tak berlangsung lama, perlahan aku juga mulai disibukkan dengan kehidupan SMP ku sendiri. Hingga akhirnya di suatu hari dia datang kerumah mengantarkan sebuah kue sambil meberitahukan padaku bahwa bulan depan ia akan kembali ke Jakarta. Serontak aku terkejut, “sudah 2 tahun kah sejak pertemuan itu? Secepat ini kah?”.

          Selama sebulan terakhir ini, aku mencoba kembali mendekatkan diriku ke Viny. Yah, awalnya aku melakukan ini hanya sebagai wujud sikap tetangga yang baik dan toleran. Hingga tiba moment dimana aku mengajaknya jalan berdua. Dia banyak menceritakan kehidupan sekolahnya, bahkan masalah cinta. Oh my, ketika  itu aku masih kelas 7 dan berstatus jomblo tanpa pengalaman cinta. Viny bercerita bahwa dia banyak disukai cowok, baik teman sekelas ataupun luar kelas, dan dia bingung cara menolak semuanya. Sebagai pendengar cerita yang kikuk dan minim pengalaman cinta, aku hanya bisa sok pinter menasihati dan mencarikan solusi yang entah itu berguna untuk dia atau tidak.

            Tidak ada angin tidak ada petir, tidak badai veranda, tidak ada pula tsunaomi, spontan aku bertanya dengan nada menggoda, “kenapa kamu menolak mereka? Apa tampang mereka ko kopet di nei nyowo? Atau jangan-jangan kamu menyukai cowok lain?”. Tak ku sangka, pertanyaan ini mengantarkan padaku pada sebuah jawaban yang diluar perkiraanku. Viny menjawab dengan nada bercanda, “iiii aku kan sukanya sama kamuu”.


Jujur rasanya seperti terkena freeze sejenak. Namun setelah itu, dengan cool aku berkata, “hah, tak usah bercanda. Kau pikir kalau kau menyukaiku, aku akan menyukaimu juga?”. Kemudian dia sok ngambek, dan tak kusangka kala itu bisa tercipta suasana candaan yang sepertinya baru kurasakan pertama kali selama hampir 2 tahun aku mengenalnya. Dan ketika itu pula aku menaruh perasaan yang berbeda pada Viny.

    Namun waktu berjalan kian cepatnya, tak terasa hari kepulangannya ke ibu kota semakin dekat. Hubungan pertemanan kami pun juga malah semakin dekat. Hal ini justru menimbulkan perasaan yang berat pula. Seaakan aku masih menginginkannya berada di sini. 
(Satria Dwinanda, 2013)