Pada saat aku masih duduk di
bangku sekolah dasar, aku kedatangan tetangga baru yang datang dari ibu kota.
Terlihat mereka adalah keluarga yang mapan, datang ke kotaku untuk keperluan
pekerjaan. Mereka bilang akan tinggal di sebelah rumahku hingga 2 tahun ke
depan. Ya, kala itu aku tak peduli siapa mereka hingga akhirnya mereka
memperkenalkan putrinya kepadaku.
Viny, gadis kecil yang biasa saja
dan terlihat agak jutek namun sangat pemalu. Kedua orang tuanya menginginkan ia
bersekolah di sekolah yang sama denganku. Mungkin dengan begitu Viny dapat
lebih mudah bersosialisasi di lingkungan rumah sekaligus sekolah. Dan secara
otomatis akupun mulai mendapat pekerjaan baru sebagai “teman” si gadis ini. Aku
harus repot-repot mengajaknya bermain bersama, berangkat sekolah bersama,
belajar bersama, dan melakukan hal-hal membosankan bersama. Ini bagai neraka
untukku, kenapa aku harus kemana-mana bersama gadis ini? Hingga sebulan berlalu
pun kami masih bersama-sama. Bodohnya, dia belum mendapat teman akrab yang lain
selain aku. Dan ini mulai membuatku gila, tidak bisa selamanya aku dibuntuti
gadis ini! Teman-teman di sekolah pun mulai mengejek kami sebagai sepasang
kekasih. Oh, ini semakin menyebalkan.
Akhirnya kelulusan SD tiba, ini
artinya masa-masa sekolah dasarku berama gadis itu juga berakhir,
dan akhirnya aku dan Viny memutuskan mengambil SMP yang berbeda. Meski demikian, komunikasi tetap terjalin
diantara kami berdua karena pada dasarnya kami memang sudah cukup dekat. Karna
rumah kamipun juga cuma bersebelahan. Nah, di masa-masa ini aku mulai jarang bertemu
dengannya. Dia mulai memiliki banyak teman di sekolah barunya. Dan tak jarang pula
aku melihat teman-teman SMP-nya mengunjungi rumahnya. Sebagai teman dan
tetangga yang baik, terkadang aku juga menyempatkan mengunjunginya. Meski sekedar
menanyakan kabar dan bercerita-cerita sejenak . Namun itu tak berlangsung lama,
perlahan aku juga mulai disibukkan dengan kehidupan SMP ku sendiri. Hingga akhirnya
di suatu hari dia datang kerumah mengantarkan sebuah kue sambil meberitahukan
padaku bahwa bulan depan ia akan kembali ke Jakarta. Serontak aku terkejut, “sudah
2 tahun kah sejak pertemuan itu? Secepat ini kah?”.
Selama sebulan terakhir ini, aku
mencoba kembali mendekatkan diriku ke Viny. Yah, awalnya aku melakukan ini hanya
sebagai wujud sikap tetangga yang baik dan toleran. Hingga tiba moment dimana aku mengajaknya jalan
berdua. Dia banyak menceritakan kehidupan sekolahnya, bahkan masalah cinta. Oh my, ketika itu aku masih kelas 7 dan berstatus jomblo
tanpa pengalaman cinta. Viny bercerita bahwa dia banyak disukai cowok, baik
teman sekelas ataupun luar kelas, dan dia bingung cara menolak semuanya.
Sebagai pendengar cerita yang kikuk dan minim pengalaman cinta, aku hanya bisa
sok pinter menasihati dan mencarikan solusi yang entah itu berguna untuk dia
atau tidak.
Tidak ada angin tidak ada petir,
tidak badai veranda, tidak ada pula tsunaomi, spontan aku bertanya dengan nada
menggoda, “kenapa kamu menolak mereka? Apa tampang mereka ko kopet di nei
nyowo? Atau jangan-jangan kamu menyukai cowok lain?”. Tak ku sangka, pertanyaan
ini mengantarkan padaku pada sebuah jawaban yang diluar perkiraanku. Viny
menjawab dengan nada bercanda, “iiii aku kan sukanya sama kamuu”.
Jujur rasanya seperti
terkena freeze sejenak. Namun setelah itu, dengan cool aku berkata, “hah, tak usah
bercanda. Kau pikir kalau kau menyukaiku, aku akan menyukaimu juga?”. Kemudian
dia sok ngambek, dan tak kusangka kala itu bisa tercipta suasana candaan yang
sepertinya baru kurasakan pertama kali selama hampir 2 tahun aku mengenalnya.
Dan ketika itu pula aku menaruh perasaan yang berbeda pada Viny.
Namun waktu berjalan kian cepatnya,
tak terasa hari kepulangannya ke ibu kota semakin dekat. Hubungan pertemanan
kami pun juga malah semakin dekat. Hal ini justru menimbulkan perasaan yang
berat pula. Seaakan aku masih menginginkannya berada di sini.
(Satria Dwinanda, 2013)
(Satria Dwinanda, 2013)