Minggu, 27 Juli 2014

SEKELUMIT CERITA SINGKAT, MALAM TAKBIRAN CERIA DI JOGJA

Saudara-saudaraku sekalian yang insyaallah di rahmati oleh Allah, sedikit review tentang malam takbiran kali ini. Untuk kali pertama saya tidak mengikuti serangkaian acara malam takbiran di kampung saya, dan hal tersebut menjadi pengalaman yang cukup berkesan bagi saya. Menghabiskan waktu malam dengan bersih-bersih rumah dari sampah yang bertumpuk, memaksa saya untuk membuangnya ke tempat pembuangan terdekat. Dengan mengendarai motor, saya menyusuri jalanan Jogja dengan diiringi gema takbir anak-anak dan tabuhan drumband yang kompak sehingga menghasilkan irama yang padu padan. Kegembiraan terpancar di wajah mereka, serta sinar lampion yang indah melengkapi keseruan jalanan Jogja. Sungguh suasana yang damai sebelum pada akhirnya saya bertemu rombongan takbir keliling radikal militan lengkap dengan lampion raksasa berbentuk roket dan dinamit. “Wah, lucu dan kreatif, mugo-mugo wae ora njut neror” batin saya bercanda. Mlipir-mlipir saya mencoba menyalip rombongan tersebut, dan batin saya pun salah... DOR! sinar hijau terpecah di atas kepala saya... percikannya mengenai tubuh saya yang lemah ini... dan percikan yang tersentuh kulitpun terasa panas.... “bangsat” itulah kata jorok pertama saya yang keluar di malam takbiran kali ini.


Seusai membuang sampah, perjalanan saya lanjutkan dalam rangka membeli bensin. Untuk menebus dosa wes misuhi uwong le do takbiran bersenjatakan petasan tadi, saya mencoba menikmati perjalanan malam saya sambil melafalkan kalimat takbir sendiri. Sayapun mencoba melupakan kejadian tadi dengan kembali menikmati rombongan takbir keliling yang berlalu lalang di jalanan.  Dan kejanggalanpun terlihat ketika saya menyadari banyak pengendara-pengendara bermotor yang mengganti helm mereka dengan kopyah, peci, sorban, dan sejenisnya. Oke, saya doakan semoga Allah melindungi kepala-kepala mereka seumpama motor mereka mengalami kecelakaan. Semoga kedepannya pak polisi kita membuat kebijakan kalau naik motor nggak usah pakai helm tapi pakai sorban saja.

Bulan Ramadhan memang identik dengan petasan, hal itu pula yang mengganggu malam takbiran ini. Semacam tradisi yang seharusnya tidak perlu di lestarikan. Orang-orang tua yang mempunyai anak memegang peran penting dalam hal ini. Anak-anak musti tahu bahwa petasan itu berbahaya! petasan itu bukan mainan. Rasul nggak mengajarkan kita menyambut hari kemenangan dengan petasan, Rasul juga nggak mengajarkan kita mengisi ramadhan dengan petasan. So, buat kalian bocah-bocah atau malah remaja yang masih main petasan, lebih baik kalian main petasannya di jalur Gaza saja. Jujur saya cukup takut, malam yang harusnya damai ini malah jadi malam yang mencekam. Padahal saya keluar cuma buat buang sampah, beli bensin, dan beli wedang ronde. Namun di perjalanan tersebut banyak sekali ranjau-ranjau mercon yang saya temui. Total 3x saya hampir gejeblukan mercon. Urip ning Jogja le jarene berhati nyaman we bengi iki wes koyo urip ning daerah perang. Jancuk to?


Nah, lebih ironis lagi dalam perjalanan pulang sehabis dari beli wedang ronde, di daerah mangkubumi, saya bertemu rombongan pemuda bermotor tanpa helm membawa bendera palestina dengan gagahnya. Apa yang mereka lakukan? Menebar mercon dengan cara di lemparkan di pinggiran jalan mangkubumi. Maksud e opo jal? Aku gagal paham karo pemuda jaman saiki. Jogja kota pelajar, namun warganya sepertinya masih perlu banyak diajar. Jogja berhati nyaman, tapi malam takbiran koyo kawasan perang. Semoga tahun depan bila masih di beri kesempatan untuk bertemu lagi dengan bulan Ramadhan, kita semua bisa menjadi pribadi yang lebih baik dari sekarang.  (Satria Dwinanda, 2014)

Selasa, 08 Juli 2014

KOMODIFIKASI RUANG PUBLIK


Komodifikasi, yang berasal dari kata komoditas (sesuatu yang bisa di perdagangkan) adalah proses perubahan barang dan jasa yang awalnya dinilai hanya dari fungsi kegunaanya menjadi komoditas yang dinilai laku di pasaran sehingga menguntungkan. Bingung? Tenang... dalam ekonomi politik media, pengertian komodifikasi ini sudah di definisikan secara sederhana oleh Vincent Mosco (2009), sebagai proses perubahan nilai guna menjadi nilai tukar[1].


            Kita bisa melihat berbagai wajah komodifikasi yang berlangsung salah satunya di media massa kita, khususnya televisi yang juga berfungsi sebagai bagian dari ruang publik. Selain itu komodifikasi juga membayangi bidang-bidang yang lain dalam setiap aspek kehidupan. Dalam pengamatan saya, ada beberapa wajah komodifikasi yang akhir-akhir ini semakin keras arusnya di Indonesia, menyedot berbagai nilai dan budaya ke dalam pusaran komoditas. Sebuah potret kehidupan yang terus tergerus dalam proyek komodifikasi budaya yang memiliki dampak amat mendalam bagi manusia modern.

          1)  Komodifikasi skandal dan sensasi. Semakin di nilai sensasional suatu peristiwa semakin dimanfaatkan oleh media dan pengiklan untuk didramatisasi demi memuaskan hasrat penonton akan sensasi. Di sini entitas publik di ubah menjadi pasar massa yang haus akan sensasi.

            2) Komodifikasi nilai. Misalnya dalam dunia agama, cermati fenomena munculnya beberapa komunitas pemakai jilbab atau para hijabers ala punuk onta dan sejenisnya yang trendi dan gaul. Mereka adalah orang-orang yang senang beragama apalagi kalau itu akan menambah tampilan gaya hidup mereka menjadi funky dan nggak ketinggalan jaman. Maka dari itu tidak usah heran kalau banyak artis yang berbondong-bondong berjilbab, berumroh, atau haji. Apa lagi di bulan Ramadhan seperti sekarang ini, banyak sekali artis yang mendadak taubat dan juga acara-acara televisi yang mendadak  alim. Bahkan ustad-ustad pop yang ngetop di televisi pun sudah mengubah peran ulama mereka dari penyeru jalan kebaikan menjadi bintang iklan yang menyeru orang untuk membeli produk yang di bintanginya. Inilah hasil karya emas industri budaya populer di Indonesia ketika kesadaran agama dikomodifikasi di tengah kemajuan perkembangan televisi dan internet, mengisi waktu ‘selo’ khalayak dengan apapun yang bisa di jadikan jalan untuk mencari lembar-lembar rupiah bagi pemodal.

            3) Komodifikasi masa kanak-kanak. Di otak para pemasar durjana, anak-anak dan masa kanak-kanak adalah sasaran super empuk, gurih, renyah, dan nikmat. Anak-anak di pandang sebagai gerombolan ikan yang siap di jaring, alias sebagai konsumen yang siap diberondong dengan iklan gaya hidup dan konsumsi. Lihat saja anak-anak yang sudah terjangkit penyakit alay jaman sekarang, sungguh miris. Apalagi melihat artis-artis cilik Indonesia masa kini yang sudah dengan bangga melantunkan tembang-tembang cinta ke lawan jenis. Tak heran bila anak-anak usia SD yang mengidolakannya sudah mengenal pacar-pacaran serta fashion.  Tak aneh pula bila anak-anak tersebut akan terlihat lebih dewasa dari usianya. Konsekuensi dari komodifikasi masa kanak-kanak adalah timbulnya gangguan dalam kehidupan harian mereka. Seperti halnya dunia perempuan, yang telah memicu sejumlah perdebatan hangat dalam kajian budaya dan media.

            4) Bentuk komodifikasi yang unik tapi tak kalah penting, yakni komodifikasi kematian. Kuburan yang dikomodifikasi untuk memenuhi selera budaya berbasis kasta ekonomi, hal ini menjadi ironi dari buruknya mutu penataan pemakaman rakyat yang kurang di pedulikan oleh negara. Kalau sebelumnya ada rumah mewah, kini ada yang namanya pemakaman mewah. Maka, saat nanti kesulitan mendapatkan ruang hidup untuk bermukim akan di tambah pula dengan kesulitan untuk mendapatkan ruang untuk mati bagi mereka yang tak mampu membayar. Terutama saat semua lahan untuk hidup dan untuk mati pun sudah dikomodifikasi atas nama keuntungan duniawi. 

            Inilah era budaya tak beradab dimana berbagai industri budaya yang di kendarai iklan melayani dengan selera rendah, yang penting dapat di terima dan menghasilkan. Hukum pasar memang cerminan selera masyarakat, hiburan adalah pemilik kursi singgasana yang berada di puncak, mengalahkan pendidikan atau hal lainnya. (Satria Dwinanda, 2014)

Sumber: Halim, Syaiful. Postkomodifikasi Media. Yogyakarta: Jalan Sutra, 2013.






[1] Dalam kata-kata Mosco, “Commodification is the process of transforming use values into exchange values”. Lihat Mosco (2009), hlm. 129.