Selasa, 08 Juli 2014

KOMODIFIKASI RUANG PUBLIK


Komodifikasi, yang berasal dari kata komoditas (sesuatu yang bisa di perdagangkan) adalah proses perubahan barang dan jasa yang awalnya dinilai hanya dari fungsi kegunaanya menjadi komoditas yang dinilai laku di pasaran sehingga menguntungkan. Bingung? Tenang... dalam ekonomi politik media, pengertian komodifikasi ini sudah di definisikan secara sederhana oleh Vincent Mosco (2009), sebagai proses perubahan nilai guna menjadi nilai tukar[1].


            Kita bisa melihat berbagai wajah komodifikasi yang berlangsung salah satunya di media massa kita, khususnya televisi yang juga berfungsi sebagai bagian dari ruang publik. Selain itu komodifikasi juga membayangi bidang-bidang yang lain dalam setiap aspek kehidupan. Dalam pengamatan saya, ada beberapa wajah komodifikasi yang akhir-akhir ini semakin keras arusnya di Indonesia, menyedot berbagai nilai dan budaya ke dalam pusaran komoditas. Sebuah potret kehidupan yang terus tergerus dalam proyek komodifikasi budaya yang memiliki dampak amat mendalam bagi manusia modern.

          1)  Komodifikasi skandal dan sensasi. Semakin di nilai sensasional suatu peristiwa semakin dimanfaatkan oleh media dan pengiklan untuk didramatisasi demi memuaskan hasrat penonton akan sensasi. Di sini entitas publik di ubah menjadi pasar massa yang haus akan sensasi.

            2) Komodifikasi nilai. Misalnya dalam dunia agama, cermati fenomena munculnya beberapa komunitas pemakai jilbab atau para hijabers ala punuk onta dan sejenisnya yang trendi dan gaul. Mereka adalah orang-orang yang senang beragama apalagi kalau itu akan menambah tampilan gaya hidup mereka menjadi funky dan nggak ketinggalan jaman. Maka dari itu tidak usah heran kalau banyak artis yang berbondong-bondong berjilbab, berumroh, atau haji. Apa lagi di bulan Ramadhan seperti sekarang ini, banyak sekali artis yang mendadak taubat dan juga acara-acara televisi yang mendadak  alim. Bahkan ustad-ustad pop yang ngetop di televisi pun sudah mengubah peran ulama mereka dari penyeru jalan kebaikan menjadi bintang iklan yang menyeru orang untuk membeli produk yang di bintanginya. Inilah hasil karya emas industri budaya populer di Indonesia ketika kesadaran agama dikomodifikasi di tengah kemajuan perkembangan televisi dan internet, mengisi waktu ‘selo’ khalayak dengan apapun yang bisa di jadikan jalan untuk mencari lembar-lembar rupiah bagi pemodal.

            3) Komodifikasi masa kanak-kanak. Di otak para pemasar durjana, anak-anak dan masa kanak-kanak adalah sasaran super empuk, gurih, renyah, dan nikmat. Anak-anak di pandang sebagai gerombolan ikan yang siap di jaring, alias sebagai konsumen yang siap diberondong dengan iklan gaya hidup dan konsumsi. Lihat saja anak-anak yang sudah terjangkit penyakit alay jaman sekarang, sungguh miris. Apalagi melihat artis-artis cilik Indonesia masa kini yang sudah dengan bangga melantunkan tembang-tembang cinta ke lawan jenis. Tak heran bila anak-anak usia SD yang mengidolakannya sudah mengenal pacar-pacaran serta fashion.  Tak aneh pula bila anak-anak tersebut akan terlihat lebih dewasa dari usianya. Konsekuensi dari komodifikasi masa kanak-kanak adalah timbulnya gangguan dalam kehidupan harian mereka. Seperti halnya dunia perempuan, yang telah memicu sejumlah perdebatan hangat dalam kajian budaya dan media.

            4) Bentuk komodifikasi yang unik tapi tak kalah penting, yakni komodifikasi kematian. Kuburan yang dikomodifikasi untuk memenuhi selera budaya berbasis kasta ekonomi, hal ini menjadi ironi dari buruknya mutu penataan pemakaman rakyat yang kurang di pedulikan oleh negara. Kalau sebelumnya ada rumah mewah, kini ada yang namanya pemakaman mewah. Maka, saat nanti kesulitan mendapatkan ruang hidup untuk bermukim akan di tambah pula dengan kesulitan untuk mendapatkan ruang untuk mati bagi mereka yang tak mampu membayar. Terutama saat semua lahan untuk hidup dan untuk mati pun sudah dikomodifikasi atas nama keuntungan duniawi. 

            Inilah era budaya tak beradab dimana berbagai industri budaya yang di kendarai iklan melayani dengan selera rendah, yang penting dapat di terima dan menghasilkan. Hukum pasar memang cerminan selera masyarakat, hiburan adalah pemilik kursi singgasana yang berada di puncak, mengalahkan pendidikan atau hal lainnya. (Satria Dwinanda, 2014)

Sumber: Halim, Syaiful. Postkomodifikasi Media. Yogyakarta: Jalan Sutra, 2013.






[1] Dalam kata-kata Mosco, “Commodification is the process of transforming use values into exchange values”. Lihat Mosco (2009), hlm. 129.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar