Komodifikasi, yang
berasal dari kata komoditas (sesuatu yang bisa di perdagangkan) adalah proses
perubahan barang dan jasa yang awalnya dinilai hanya dari fungsi kegunaanya
menjadi komoditas yang dinilai laku di pasaran sehingga menguntungkan. Bingung?
Tenang... dalam ekonomi politik media, pengertian komodifikasi ini sudah di
definisikan secara sederhana oleh Vincent Mosco (2009), sebagai proses
perubahan nilai guna menjadi nilai tukar[1].
Kita
bisa melihat berbagai wajah komodifikasi yang berlangsung salah satunya di media
massa kita, khususnya televisi yang juga berfungsi sebagai bagian dari ruang
publik. Selain itu komodifikasi juga membayangi bidang-bidang yang lain dalam
setiap aspek kehidupan. Dalam pengamatan saya, ada beberapa wajah komodifikasi
yang akhir-akhir ini semakin keras arusnya di Indonesia, menyedot berbagai
nilai dan budaya ke dalam pusaran komoditas. Sebuah potret kehidupan yang terus
tergerus dalam proyek komodifikasi budaya yang memiliki dampak amat mendalam
bagi manusia modern.
1)
Komodifikasi skandal dan sensasi.
Semakin di nilai sensasional suatu peristiwa semakin dimanfaatkan oleh media
dan pengiklan untuk didramatisasi demi memuaskan hasrat penonton akan sensasi.
Di sini entitas publik di ubah menjadi pasar massa yang haus akan sensasi.
2)
Komodifikasi nilai. Misalnya dalam dunia agama, cermati fenomena munculnya
beberapa komunitas pemakai jilbab atau para hijabers ala punuk onta dan
sejenisnya yang trendi dan gaul. Mereka adalah orang-orang yang senang beragama
apalagi kalau itu akan menambah tampilan gaya hidup mereka menjadi funky dan
nggak ketinggalan jaman. Maka dari itu tidak usah heran kalau banyak artis yang
berbondong-bondong berjilbab, berumroh, atau haji. Apa lagi di bulan Ramadhan
seperti sekarang ini, banyak sekali artis yang mendadak taubat dan juga
acara-acara televisi yang mendadak alim.
Bahkan ustad-ustad pop yang ngetop di televisi pun sudah mengubah peran ulama mereka
dari penyeru jalan kebaikan menjadi bintang iklan yang menyeru orang untuk
membeli produk yang di bintanginya. Inilah hasil karya emas industri budaya
populer di Indonesia ketika kesadaran agama dikomodifikasi di tengah kemajuan
perkembangan televisi dan internet, mengisi waktu ‘selo’ khalayak dengan apapun
yang bisa di jadikan jalan untuk mencari lembar-lembar rupiah bagi pemodal.
3)
Komodifikasi masa kanak-kanak. Di otak para pemasar durjana, anak-anak dan masa
kanak-kanak adalah sasaran super empuk, gurih, renyah, dan nikmat. Anak-anak di
pandang sebagai gerombolan ikan yang siap di jaring, alias sebagai konsumen
yang siap diberondong dengan iklan gaya hidup dan konsumsi. Lihat saja
anak-anak yang sudah terjangkit penyakit alay jaman sekarang, sungguh miris.
Apalagi melihat artis-artis cilik Indonesia masa kini yang sudah dengan bangga melantunkan
tembang-tembang cinta ke lawan jenis. Tak heran bila anak-anak usia SD yang
mengidolakannya sudah mengenal pacar-pacaran serta fashion. Tak aneh pula bila anak-anak tersebut akan
terlihat lebih dewasa dari usianya. Konsekuensi
dari komodifikasi masa kanak-kanak adalah timbulnya gangguan dalam kehidupan harian
mereka. Seperti halnya dunia perempuan, yang telah memicu sejumlah perdebatan
hangat dalam kajian budaya dan media.
4)
Bentuk komodifikasi yang unik tapi tak kalah penting, yakni komodifikasi
kematian. Kuburan yang dikomodifikasi untuk memenuhi selera budaya berbasis
kasta ekonomi, hal ini menjadi ironi dari buruknya mutu penataan pemakaman
rakyat yang kurang di pedulikan oleh negara. Kalau sebelumnya ada rumah mewah,
kini ada yang namanya pemakaman mewah. Maka, saat nanti kesulitan mendapatkan
ruang hidup untuk bermukim akan di tambah pula dengan kesulitan untuk
mendapatkan ruang untuk mati bagi mereka yang tak mampu membayar. Terutama saat
semua lahan untuk hidup dan untuk mati pun sudah dikomodifikasi atas nama
keuntungan duniawi.
Inilah
era budaya tak beradab dimana berbagai industri budaya yang di kendarai iklan melayani
dengan selera rendah, yang penting dapat di terima dan menghasilkan. Hukum
pasar memang cerminan selera masyarakat, hiburan adalah pemilik kursi
singgasana yang berada di puncak, mengalahkan pendidikan atau hal lainnya. (Satria Dwinanda, 2014)
Sumber: Halim,
Syaiful. Postkomodifikasi Media. Yogyakarta:
Jalan Sutra, 2013.
[1] Dalam
kata-kata Mosco, “Commodification is the
process of transforming use values into exchange values”. Lihat Mosco
(2009), hlm. 129.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar