Saudara-saudaraku
sekalian yang insyaallah di rahmati oleh Allah, sedikit review tentang malam
takbiran kali ini. Untuk kali pertama saya tidak mengikuti serangkaian acara malam
takbiran di kampung saya, dan hal tersebut menjadi pengalaman yang cukup
berkesan bagi saya. Menghabiskan waktu malam dengan bersih-bersih rumah dari
sampah yang bertumpuk, memaksa saya untuk membuangnya ke tempat pembuangan
terdekat. Dengan mengendarai motor, saya menyusuri jalanan Jogja dengan diiringi
gema takbir anak-anak dan tabuhan drumband yang kompak sehingga menghasilkan
irama yang padu padan. Kegembiraan terpancar di wajah mereka, serta sinar lampion
yang indah melengkapi keseruan jalanan Jogja. Sungguh suasana yang damai
sebelum pada akhirnya saya bertemu rombongan takbir keliling radikal militan
lengkap dengan lampion raksasa berbentuk roket dan dinamit. “Wah, lucu dan
kreatif, mugo-mugo wae ora njut neror” batin saya bercanda. Mlipir-mlipir saya mencoba menyalip
rombongan tersebut, dan batin saya pun salah... DOR! sinar hijau terpecah di
atas kepala saya... percikannya mengenai tubuh saya yang lemah ini... dan
percikan yang tersentuh kulitpun terasa panas.... “bangsat” itulah kata jorok
pertama saya yang keluar di malam takbiran kali ini.
Seusai
membuang sampah, perjalanan saya lanjutkan dalam rangka membeli bensin. Untuk menebus
dosa wes misuhi uwong le do takbiran bersenjatakan petasan tadi, saya mencoba
menikmati perjalanan malam saya sambil melafalkan kalimat takbir sendiri.
Sayapun mencoba melupakan kejadian tadi dengan kembali menikmati rombongan
takbir keliling yang berlalu lalang di jalanan. Dan kejanggalanpun terlihat ketika saya
menyadari banyak pengendara-pengendara bermotor yang mengganti helm mereka
dengan kopyah, peci, sorban, dan sejenisnya. Oke, saya doakan semoga Allah
melindungi kepala-kepala mereka seumpama motor mereka mengalami kecelakaan.
Semoga kedepannya pak polisi kita membuat kebijakan kalau naik motor nggak usah
pakai helm tapi pakai sorban saja.
Bulan
Ramadhan memang identik dengan petasan, hal itu pula yang mengganggu malam
takbiran ini. Semacam tradisi yang seharusnya tidak perlu di lestarikan. Orang-orang
tua yang mempunyai anak memegang peran penting dalam hal ini. Anak-anak musti
tahu bahwa petasan itu berbahaya! petasan itu bukan mainan. Rasul nggak
mengajarkan kita menyambut hari kemenangan dengan petasan, Rasul juga nggak
mengajarkan kita mengisi ramadhan dengan petasan. So, buat kalian bocah-bocah
atau malah remaja yang masih main petasan, lebih baik kalian main petasannya di
jalur Gaza saja. Jujur saya cukup takut, malam yang harusnya damai ini malah
jadi malam yang mencekam. Padahal saya keluar cuma buat buang sampah, beli
bensin, dan beli wedang ronde. Namun di perjalanan tersebut banyak sekali ranjau-ranjau
mercon yang saya temui. Total 3x saya hampir gejeblukan mercon. Urip ning Jogja
le jarene berhati nyaman we bengi iki wes koyo urip ning daerah perang. Jancuk
to?
Nah,
lebih ironis lagi dalam perjalanan pulang sehabis dari beli wedang ronde, di
daerah mangkubumi, saya bertemu rombongan pemuda bermotor tanpa helm membawa
bendera palestina dengan gagahnya. Apa yang mereka lakukan? Menebar mercon dengan
cara di lemparkan di pinggiran jalan mangkubumi. Maksud e opo jal? Aku gagal
paham karo pemuda jaman saiki. Jogja kota pelajar, namun warganya sepertinya masih
perlu banyak diajar. Jogja berhati nyaman, tapi malam takbiran koyo kawasan
perang. Semoga tahun depan bila masih di beri kesempatan untuk bertemu lagi dengan
bulan Ramadhan, kita semua bisa menjadi pribadi yang lebih baik dari sekarang. (Satria Dwinanda, 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar